Friday, April 30, 2010

Ruang

Ahh, betapa sempitnya ruang itu.
Betapa sulitnya memilih benda-benda berharga yang harus dijejalkan di sana.
Aku mengamati, menutup mata, merasakan dan memilih apa yang harus aku letakkan di sana.
Di ruang sempit itu.
Aku harap yang terbaik, yang terpenting, yang utama, yang benar.
Dan berharap untuk mendapatkan ruang-ruang lain yang lebih luas karenanya.
Ruang di mana aku dapat mengisinya dengan harapan dan kehidupan.

Thursday, April 29, 2010

Berfikir seakan berhenti berfikir

Hari ini aku terdiam dan berfikir seakan berhenti berfikir..
Aku ulangi lagi dalam hati tentang apa yang dikatakan sahabatku barusan:

"Orang gila itu bilang kalo lu aneh, dia mau gue jauhin elu".

Aku kembali berfikir seakan berhenti berfikir..
Apakah orang gila itu benar-benar menganggap aku ini aneh?
Dengan nada kecewa hatiku mengeluh dan berkata:

"Setelah semua hal yang sudah aku lakukan, apakah benar aku hanya terlihat sewaras itu?"

Ahhh.. gak seruuuu!!

Wednesday, April 28, 2010

Sudah semua

Hari ini rajutan terakhir sepatu merah hampir selesai, harus ku akui, aku tidak tahu bagaimana caranya menjahit. Aku hanya tahu perihal apa yang akan aku jahit.
Sudah semua angan ku rajut pada pinggir-pinggir rona nya, semua sudah..
Aku ingin sepatu merahku segera menari di bawah kaki ini.
Sementara aku merajut aku melihat.
Manusia-manusia lalu lalang di hadapanku. Menghampiriku dan menceritakan dirinya dengan keraguan. Cita-cita yang mereka jalani dengan ketidakpercayaan. Aku melihat mata mereka, menyeruakkan pandanganku sampai ke pada sanubari mereka. Aku tidak mau apa-apa, aku tidak datang untuk suatu pembenaran atau penghakiman atas apa yang aku sendiri pun tak tahu. Aku tidak berkuasa atas ketakutan mereka, atas kedengkian mereka pada keterbatasan daging. Aku hanya ingin melakukan satu hal. Memberi hati kecil nya itu senyuman. Demi tuhan kawan, jangan buat dia lebih takut!

Tuesday, April 27, 2010

Bandung

Yang aku ingat hanya, tubuhku melayang di atas landasan rata abu-abu serta beribu rasa yang mengeroyok lidahku...

Monday, April 26, 2010

Hening

Hari ini mengawang, menerawang di awang-awang..
Melihat tumpukan buku yang berserakan, seakan membaca tiap lembarnya dari jauh.
Memejamkan mata demi melihat bayang-bayang yang lebih jelas.
Aku, meraih serpihan rasa-rasa tersisa yang terserak di selasar waktu.
Mengamati kemilau dan sudut-sudutnya yang memantulkan parasku.
Aku berbaring di bawah pohon kepercayaan, meletakkan kepalaku yang berat di atas tumpukan bulu-bulu angsa.
Mendekatkan serpihan terbesar yang bisa kudapati di jalan itu dan meletakkannya di pipiku.
Malam ini aku ingin tidur dan mendengarkan musik yang dia hantarkan.
Biarkan dia mengalun dalam keheningan.
Rasa yang dulu ku tuntut kini ku dapat, dia sedang tertidur bisu di pelukan hati.
Mengecup keningnya pun aku tak berani, mengingat hempasan debur yang pernah membawanya pergi.
Aku berada di dalam hening, ketika tiada tangis terpecah dan tawa yang menggema lagi.
Malam ini hanya ada kau dan aku, yang memejamkan mata untuk saling melihat
Melihat betapa bintang sesungguhnya gelap, dan pekatlah yang menerangi malam.

Sunday, April 25, 2010

Hari ke 3

Hari ke 3
Pagi hari.
Mentari yang selalu terlambat bangun pada hari Minggu itu menyelinap diantara awan-awan putih yang empuk. Matanya masih sayu. Namun saya, sudah harus berteriak, mendialog-kan puisi-puisi cinta bersama kumpulan kawan-kawan yang baru saya temui rupanya di dunia ini.
Siang hari.
Mimbar Tuhan tempat saya biasa bermanja-manjaan dengannya pun makin kasar, menuding anak-anakNya karena telah membiarkan sesama mengambil jalan yang salah. Mimbar meminta pertanggunjawaban akan apa yang saya serukan pagi tadi, yang membuat suara-suara sekitar makin lantang!!
Malam hari.
Menyadari bahwa semenarik apa pun pentas teater yang saya usahakan tadi pagi, mimbar Tuhan yang saya kunjungi tadi siang dan film bioskop tentang sandiwara penipuan hayat. Saya tau bahwa kenyataaan, tidak kalah lebih menarik dari semua hal yang saya lihat hari ini. Kenyataan tidak kalah lebih menipu dari mimpi-mimpi semu. Kemarin, sekarang, esok, lusa, selamanya. Saya akan tetap berada dalam sebuah film panjang yang tak dapat berhenti sebelum saya bosan bernafas. Bedanya, saya akan selalu menjadi pemeran utama dengan cerita dan adegan yang selalu menarik. Hal yang harus saya lakukan adalah. Berhenti menanyakan pemahaman dan melakukan apa yang bisa saya lakukan bukan hanya hari ini, tapi detik ini. Sekarang!

Saturday, April 24, 2010

Mengobyeki hari kedua

Hari kedua,
Seperti hal nya hari pertama yang belum juga tuntas. Kebiasan berebut ego di pagi hari bersama waktu masih terjadi. Perdamaian ku dengan aspal dan permohonan maaf pada si hitam beroda 4 yang terpecut kemelut hari itu.
Setelah itu menjadi juri.
Berusaha menilai seobjektif mungkin dalam kesubjektifan.
Melihat jari jemari itu bergetar panik dalam kegalauan fibrasi yang hilir mudik
Teriakan tak lagi ada tuk diresapi selain keraguan
Dan tatapan mata si objek yang meminta dirinya dinilai. Uluran tangannya membelai udara2 di antara kami menarik kesubjekanku lekat disela-sela jemari nya.
Saya bersama objek yang mengobjekkan dirinya untuk saya.
Pantas saja kesubjekan saya tidak pernah laris, tak pernah tau bagaimana memainkan tatapan mata dan kerlingan tangan untuk mengobyeki tiap nada.
Pantas saja.. =P

Friday, April 23, 2010

Menguji Janji

Hari ini aku diuji. Audisi untuk menari, di atas sepatu merah.
Hari pertama.
Aku dipaksa untuk berkawan dengan waktu, padahal kami musuh bebuyutan.
Aku dipaksa untuk diam dalam sabar, padahal emosi tengah memuncak.
Aku dipaksa untuk menarik napas dalam, padahal teriakan lah yang ingin terlontar.
Aku dipaksa untuk bertoleransi, padahal kesadaran tak kunjung datang.
aku dipaksa untuk memperhatikan, padahal kemuakan sudah tak tertahankan
Aku dipaksa untuk menunggu, padahal siapa yang butuh?
Aku dipaksa untuk berkawan dengan waktu dengan cara menarik napas dan diam dalam sabar sementar itu bertoleransi dengan menunggu dan pura-pura memperhatikan.

Aku dipaksa untuk melakukan semuanya itu dengan tidak terpaksa!!


Ahhhhhhh, sepatu merah! Cepatlah terajut rapih, ayo kita berlari dari hasrat-hasrat kelam mereka yang memuakkan.

Wednesday, April 21, 2010

Janji ku pada Kartini

Semalam, seusai menyebutkan nama-nama orang yang ku kasihi dalam doa, aku merebahkan diri di peraduan. Teringat akan Kartini, entah sampai berapa lama.
Dalam anganku, dia berjalan tegar. Kain sarungnya membelai permukaan tanah dan sinar matanya menyalang terjang.
Dia, menghujamkan langkah gemulai dengan kaki-kakinya yang ramping. Menggetarkan angkasa dengan seruan tatap tajam. Tak ada hati kokoh yang selembut dia. Harapnya adalah cita-cita luhur perangkul bumi. Mengecup kebenaran dengan bibirnya yang lembut. Berjuang dengan suara melengking dan peluh di antara helai-helai rambut.
Ahhhh.. cantiknya..
Aku pun berlari mendapati cermin. Dalam diam, ku pandang lekat-lekat ke dua bola mata dihadapanku. Terbayang akan seorang wanita seusia kedua bola mata itu, sedang membaca buku dalam kurungan zaman, menuliskan surat-surat luhur pada dunia, menatap kaum nya dengan tangis perindu, harapanya jauh menembus tingkap-tingkap kepicikan hasrat.
Ahhhh.. cantiknya..
Kedua tangan lembutnya membangun bongkahan-bongkahan batu kasar demi naungan perempuan lapuk yang dimakan ngengat kebodohan. Mengenalkan mereka semerbak bau buku dan bersalaman dengan huruf-huruf ajaibnya. Tersenyum bahagia diantara ibu-ibu suntuk yang sedang mengeja terbata-bata.
Ahhh.. cantiknya..
Ketika dia mengerang, berjuang demi setitik insan kehidupan yang terlahir dari rahimnya. Nafas pun dia berikan untuk seorang bayi mungil yang telah dia kandung dalam kasih selama berbulan-bulan. Akhirnya, setelah erangan bayi mungil menyeruak lepas kedua bola mata itu pun tertutup untuk selamanya. 25 tahun bernafas sudah cukup baginya, ketika bola mata itu tertutup dia telah membuka bola mata-bola mata lain untuk melihat dan memandang segalanya.
Ahhh.. cantiknya..
Melalui cermin ini aku melihat, kedua bola mata sedang memandang ku erat. Aku lihat Kartini di sana.
Ahhh.. cantiknya dia, cantiknya aku, cantiknya kita wanita.
Karena cantiklah hakikat seorang wanita. Bukan karena warna kulit, tinggi badan, berat badan. Lihatlah kedua bola mata mu, pandangi dia, intip ragamu sampai ke dalam. Di sanalah kau menemukan kecantikan, sebagaimana aku yang tengah menemukan Kartini tertidur lelap di sana.
Ahhh.. cantiknya...
Aku pun membangun kan dia, memperlihatkan sepatu merah yang sedang aku rajut. Sama seperti sepatu merah yang dia kenangkan dulu, sepatu merah yang dicibir masyarakat sebagai lambang pembangkangan dan kebinalan. Coba tebak, sudah berapa jari telunjuk menuding ke arah sepatu indah ini, hanya karena dia terang dan berani. Aku.. hanya untuk senyumnya, aku berjanji, bahwa aku tidak akan pernah berhenti menari, di atas sepatu merah ini. Aku menari bersamanya dan bersama bola mata-bola mata lain yang mengenakan sepatu merah.
Ahhh.. cantiknya...

-Christina Maria Panjaitan, 22 April 2010-