Semalam, seusai menyebutkan nama-nama orang yang ku kasihi dalam doa, aku merebahkan diri di peraduan. Teringat akan Kartini, entah sampai berapa lama.
Dalam anganku, dia berjalan tegar. Kain sarungnya membelai permukaan tanah dan sinar matanya menyalang terjang.
Dia, menghujamkan langkah gemulai dengan kaki-kakinya yang ramping. Menggetarkan angkasa dengan seruan tatap tajam. Tak ada hati kokoh yang selembut dia. Harapnya adalah cita-cita luhur perangkul bumi. Mengecup kebenaran dengan bibirnya yang lembut. Berjuang dengan suara melengking dan peluh di antara helai-helai rambut.
Ahhhh.. cantiknya..
Aku pun berlari mendapati cermin. Dalam diam, ku pandang lekat-lekat ke dua bola mata dihadapanku. Terbayang akan seorang wanita seusia kedua bola mata itu, sedang membaca buku dalam kurungan zaman, menuliskan surat-surat luhur pada dunia, menatap kaum nya dengan tangis perindu, harapanya jauh menembus tingkap-tingkap kepicikan hasrat.
Ahhhh.. cantiknya..
Kedua tangan lembutnya membangun bongkahan-bongkahan batu kasar demi naungan perempuan lapuk yang dimakan ngengat kebodohan. Mengenalkan mereka semerbak bau buku dan bersalaman dengan huruf-huruf ajaibnya. Tersenyum bahagia diantara ibu-ibu suntuk yang sedang mengeja terbata-bata.
Ahhh.. cantiknya..
Ketika dia mengerang, berjuang demi setitik insan kehidupan yang terlahir dari rahimnya. Nafas pun dia berikan untuk seorang bayi mungil yang telah dia kandung dalam kasih selama berbulan-bulan. Akhirnya, setelah erangan bayi mungil menyeruak lepas kedua bola mata itu pun tertutup untuk selamanya. 25 tahun bernafas sudah cukup baginya, ketika bola mata itu tertutup dia telah membuka bola mata-bola mata lain untuk melihat dan memandang segalanya.
Ahhh.. cantiknya..
Melalui cermin ini aku melihat, kedua bola mata sedang memandang ku erat. Aku lihat Kartini di sana.
Ahhh.. cantiknya dia, cantiknya aku, cantiknya kita wanita.
Karena cantiklah hakikat seorang wanita. Bukan karena warna kulit, tinggi badan, berat badan. Lihatlah kedua bola mata mu, pandangi dia, intip ragamu sampai ke dalam. Di sanalah kau menemukan kecantikan, sebagaimana aku yang tengah menemukan Kartini tertidur lelap di sana.
Ahhh.. cantiknya...
Aku pun membangun kan dia, memperlihatkan sepatu merah yang sedang aku rajut. Sama seperti sepatu merah yang dia kenangkan dulu, sepatu merah yang dicibir masyarakat sebagai lambang pembangkangan dan kebinalan. Coba tebak, sudah berapa jari telunjuk menuding ke arah sepatu indah ini, hanya karena dia terang dan berani. Aku.. hanya untuk senyumnya, aku berjanji, bahwa aku tidak akan pernah berhenti menari, di atas sepatu merah ini. Aku menari bersamanya dan bersama bola mata-bola mata lain yang mengenakan sepatu merah.
Ahhh.. cantiknya...
-Christina Maria Panjaitan, 22 April 2010-
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment